“Selama ini, Maluku terlalu sering disebut dalam pidato, tapi minim dalam realisasi. Padahal kita punya kekayaan laut, rempah, dan sejarah peradaban yang panjang. Tapi apa gunanya kekayaan itu jika akses jalan, pendidikan, dan kesehatan saja masih tertinggal jauh?” tegas Agung dalam keterangannya di Ambon, Minggu (12/10/2025).
Agung menyoroti langkah pemerintah pusat yang kerap memangkas anggaran daerah secara sepihak tanpa konsultasi atau mempertimbangkan rencana pembangunan yang telah disusun oleh pemerintah daerah. Ia menyebut pola ini tidak mencerminkan semangat keadilan dan justru menciptakan jarak baru antara pusat dan daerah.
“Kalau daerah seperti Maluku terus diperlakukan sebagai objek, bukan subjek pembangunan, maka jangan salahkan kalau rakyat kehilangan kepercayaan. Kami bukan pengemis anggaran. Kami hanya menuntut keadilan,” kata Agung.
Ia juga menilai, berbagai program nasional seperti makanan bergizi gratis (MBG) terkesan dipaksakan dan tidak dibicarakan secara matang dengan pemerintah dan masyarakat daerah. Menurutnya, program seperti itu rawan menjadi proyek pencitraan yang gagal menyentuh persoalan mendasar di wilayah kepulauan.
“Bayangkan, banyak desa di Maluku masih sulit dijangkau. Guru tidak ada, puskesmas kosong, transportasi laut mahal, tapi tiba-tiba datang program dari pusat tanpa menyelesaikan masalah-masalah itu lebih dulu. Ini seperti membangun atap rumah sebelum ada pondasinya,” ujarnya.
Sebagai aktivis muda yang aktif dalam isu-isu sosial dan keadilan wilayah timur Indonesia, Agung Royani mengingatkan pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan lama yang mengabaikan realitas lokal. Ia menekankan bahwa sentralisasi kebijakan hanya akan memperkuat ketimpangan struktural yang sudah berlangsung puluhan tahun.
“Rakyat Maluku bukan baru kemarin ada. Kami sudah ada jauh sebelum republik ini berdiri. Jangan seolah-olah pusat adalah penyelamat segalanya. Kalau pusat tidak hadir, rakyat tetap bisa hidup. Tapi kalau rakyat kehilangan harapan, itu yang berbahaya,” tegasnya.
Agung juga menyebut bahwa kekecewaan publik terhadap gaya komunikasi pejabat pusat yang arogan bisa memicu resistensi sosial, apalagi di daerah-daerah yang memiliki pengalaman historis dengan ketidakadilan dan konflik.
“Papua dan Aceh adalah pelajaran. Jangan buat Maluku jadi babak baru dari kisah yang sama. Hormati suara rakyat daerah, libatkan mereka dalam pengambilan keputusan, dan hentikan gaya pengelolaan negara yang menjauh dari akar persoalan,” pungkasnya (ZM_2)